PULANG
Jumat, 14-Nov-2003
Jam berdenting menunjukkan pukul 4 sore. Baru kali ini
aku menatap antusias pintu rumah. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi. Aku
menggenggam sebuah layang-layang sambil membayangkan betapa gembiranya Ia
ketika mengetahui aku sudah cukup cerdas dan mandiri dalam membuatnya.
KREEK
“Ayaaah”
Mengetahui aku akan menerjangnya dengan pelukan dan
kicauan yang cukup bawel. Ayah mencubit pipiku gemas dan menggendongku ke ruang
tamu.
“Wah, anak ayah sudah pintar ya buat layang-layang.
Sudah tidak merengek lagi dong minta dibeliin di warung?” goda Ayah sembari menahan
tawa melihat hasil layang-layangku yang bergambar wajah Ayah ditambah dengan
rona merah di pipi. Aku menyerocos panjang lebar mengenai teman-temanku yang
mengajak pergi bersama ke lapangan sepulang sekolah untuk menerbangkan
layang-layang. Dan tanpa aku mengatakannya dengan jelas, ayah segera meninggalkanku
yang belum selesai bercerita untuk mengganti pakaiannya.
“Sini Ayah tunjukkan keahlian Ayah waktu kecil”
ujarnya sambil menepuk dadanya dengan bangga. Tangannya terulur ke arahku dan
dengan senang hati aku menggapainya dan menggenggamnya erat.
Sore itu, angin berhembus
kencang menerbangkan layangan
Terbang tinggi—setinggi luapan rasa bahagia kami
kala itu
Hanya ada aku, ayah, dan layangan
yang menari-nari di langit biru
***
Selasa, 11-Mar-2025
Sesaat
aku membiarkan kenangan masa kecilku dengan Ayah menguasai pikiranku. Sakit.
Aku mencengkram dadaku. Luka ini kembali menganga. Mimpi buruk ini tiba-tiba
menghampiriku ketika aku sudah hampir
melupakannya. Tangan kananku bergetar—meraih layangan bermotif biru putih yang tergeletak sembarang
di lantai dan merengkuhnya erat. Aku mendongak—menatap bingkai foto yang tergantung di dekat meja.
“Harusnya aku tidak begini bukan? Andai saja Ayah
berada disini. Ayah pasti takkan suka melihatku begini. Iya kan Yah? Ayah….” gumamku
menatap nanar bingkai berlukiskan potret diriku yang ketakutan menaiki sepeda
roda dua pertama kali dengan ayah yang tertawa lebar—puas menakutiku bahwa Ia akan melepas pegangannya pada
sepeda.
Tawa Ayah
Ayah sangat
bahagia kala itu
Andai aku bisa melihatnya
kembali seperti itu …
***
Rabu, 09-Jun-2017
Aku membanting keras pintu kamarku sambil menggerutu
pelan. Aku memijit keningku menyadari kesalahan yang aku lakukan beberapa waktu
yang lalu. Bentakan Ayah yang memarahiku pulang larut malam dibalas dengan
bentakan rasa kesalku yang tak sengaja ku lontarkan kepadanya. Ayah sering
sakit belakangan ini dan harusnya aku tidak membuat kondisinya bertambah parah.
Guyuran hujan di luar ditambah dengan nasihat atau
mungkin lebih pantas dikatakan omelan panjang
tiada henti dari dosen pembimbing skripsi cukup membuatku pusing setengah mati.
Dan sesampainya aku pulang, jangankan mengharapkan rasa khawatir ataupun perhatian.
Nyatanya, malah disambar dengan bentakan Ayah hingga akhirnya Ibu turun tangan
untuk memisahkan kami, karena Ayah tiba-tiba batuk-batuk keras dan segera Ibu
papah ke dalam kamar.
“Daniella
ada wedang jahe nih!” panggil Ibu—membuyarkan lamunanku. Kubuka pintu kamar dengan
hati-hati dan melihat sekeliling mencari keberadaan Ayah dan dengan sigap duduk
disebelah Ibu.. Aku menghela napas lega—akan canggung jika aku berada dalam satu ruangan dengan
Ayah jika sehabis bertengkar seperti tadi.
“Ibu
emang paling mengerti aku deh! Tapi wedang jahenya tumben agak beda ya rasanya,
engga seperti yang Ibu beli biasa. Jahenya lebih terasa yang ini.” sahutku
sambil menyesap kembali wedang jahe yang masih hangat.
“Ayah
kan biasanya beli diperempatan pinggir jalan. Nah, karena sudah larut malam
sudah tutup. Terus Ayah juga sempat memutari kompleks, tapi katanya engga ada
yang jualan. Jadinya tadi ayah berkreasi di dapur mengingat resep wedang jahe
mendiang nenekmu. Ohya tadi—”
Aku
bergeming mendengar penjelasan Ibu mengenai Ayah yang rela keluar malam-malam
demi mencarikanku wedang jahe—padahal Ia sendiri seharusnya
beristirahat di rumah. Bahkan Ayah yang
merelakan waktunya membuat secangkir wedang jahe berbekal ingatannya
masa lalu.
“…. Niella masih dengerin Ibu kan?
Ohya, tadi Ayah mengomel karena kamu engga kunjung pulang. Ayah menghangatkan
wedang jahe berulangkali loh karena tau kamu pasti pulang basah kuyup engga
bawa payung. Eh kamunya malah pulang larut malam banget dan engga ada kabar…
Ibu sama Ayah khawatirin kamu tau!”
Hatiku mencelos mendengar penjelasan
Ibu. Sebegitu mudahnya aku melontarkan emosi dan hanya memandang sisi Ayah yang
sibuk dan tidak pernah memerhatikanku saat ini. Ditambah dengan akulah penyebab
bertambah buruknya kondisi Ayah yang sering sakit belakangan ini.
Maafkan
aku Ayah…
***
Kamis, 14-Jun-2017
“Kabarnya
baik-baik saja, Niel sudah masuk jurusan Arsitektur seperti apa yang aku
inginkan. Beberapa minggu lagi mungkin akan sidang sepertinya.”
“Ya kau benar,
Niel-ku memang hebat masuk jurusan arsitektur yang umumnya didominasi oleh para
lelaki!”
Mendengar
Ayah yang sedang berbicara di telepon, aku tak bisa menahan senyum mendengar
nada bangga Ayah yang sedang membicarakan aku dengan seseorang entah siapa.
Sambil menunggu Ayah selesai menelpon, aku bersandar dibalik tembok dan menatap
bahagia kertas acc skripsiku yang
akan ku tunjukkan pada Ayah. Sekaligus menebus rasa bersalahku yang sempat
melawan dan membentak Ayah minggu lalu. Dan juga akhir-akhir ini aku merasa
sangat jauh dengan Ayah karena kami berdua sama-sama sibuk dan tidak mau
mengalah atau menyatakan maaf satu sama lain.
“…
Tunggu—anakku
perempuan. Namanya Jo Daniella. Ya, aku memang biasanya memanggil Niel …”
Aku terkikik mendengar Ayah yang
bingung menjelaskan mengapa nama panggilanku seperti laki-laki. Sejujurnya aku
juga heran, Ibu wajar memanggilku Niella—maksudku
nama itu masih diartikan sebagai nama seorang perempuan. Tapi, sejak dari kecil
Ayah memanggilku Niel dan mungkin
karena aku sudah terbiasa jadi aku tidak pernah menanyakan perihal sepele seperti
itu. Bahkan bagiku panggilan Niel terdengar
keren.
“…
Memang Tuhan berkehendak lain. Aku sungguh mengharapkan anak laki-laki—bahkan
saking takutnya aku tidak berani menanyakan ke dokter perihal USG istriku …”
Aku
bergeming mendengar pernyataan Ayah yang sungguh menusuk hati. Sebegitukah Ayah
menginginkan aku terlahir sebagai laki-laki. Mengapa aku baru menyadarinya
sekarang? Apakah Ayah selama ini merasa sedih dan kecewa karena aku tidak
sesuai dengan apa yang diharapkannya??
“...
Kau ingat dulu ketika aku bercerita padamu sebelum Daniella lahir, aku
berencana menamakannya Jo Daniel. Ya… makanya aku memanggilnya Niel sejak kecil setidaknya
mewujudkan keinginanku menamainya Daniel. Tunggu—kau bertanya apakah aku kecewa Niel-ku lahir sebagai
perempuan—"
Tak sanggup mendengar jawaban Ayah
lebih lanjut. Aku memilih untuk pergi dan mengabaikan apa yang baru saja aku
dengar.
Ya, aku tidak ingin mendengar kenyataan
yang Ayah sembunyikan
Kenyataan
bahwa mungkin—mungkin Ayah tidak
mengharapkan aku
***
Selasa, 27-Jun-2017
“Aku pulaaannggg”
Hening. Tidak ada yang menjawab.
Kemana mereka? Sudah seminggu aku menginap dikosan teman demi mengejar kesiapan
sidang. Bukankah seharusnya mereka menyambutku dengan meriah dan senang karena
sebentar lagi aku akan wisuda.
“Ibu … Ayah …”
Aku menelusuri kamar demi kamar.
Sore hari seperti ini biasanya mereka bercengkrama di teras depan. Dimana Ayah
dan Ibu sekarang? Ah, mereka bahkan kalah start
dengannya. Aku memeluk sekuntum bunga tulip berwarna putih yang
diberikannya pagi ini untukku. Aku bahkan ingin pamer dan bercerita dengan Ibu
yang sudah penasaran akan pria yang telah berhasil mencuri hati anaknya.
Ditambah dengan sebulan belakangan
ini hubunganku dengan Ayah bertambah renggang. Aku semakin menjauh setelah
mengetahui pembicaraan Ayah ditelepon. Tapi, aku akan memperbaiki hubunganku
dengan Ayah hari ini. Mungkin hanya salah paham. Ya, salah paham dan aku tidak
ingin itu merusak hubungan erat antara aku dan ayah selama ini.
Aku kembali menelusuri rumah. Aku merasakan
ada sesuatu yang aneh entah karena sudah semingguan tidak berada dirumah—atau
memang seisi rumah terlihat terlalu rapi dan banyak barang-barang yang
sepertinya menghilang. Tunggu—belakangan ini Ibu memang jarang menelponku.
Hanya dua kali dalam seminggu ini. Hari pertama ketika dikosan teman dan
terakhir hari ini sebelum aku sidang.
Akan tetapi, perkataan ibu tadi pagi
terdengar aneh…
“Semoga
sidangmu lancar Niella… Ibu sama Ayah selalu mendoakanmu dimanapun kami berada”
“Ibu
sama Ayah lagi dimana memangnya sekarang? Pokoknya Niella pulang, kalian sudah
dirumah ya... Niella mau cerita sama Ibu banyak hehehe”
UHUUUKK
UHUUUK
‘Permisi
Bu. Tolong segera isi administrasinya ya, atas nama Bapak—’
“Nanti
Ibu telepon lagi ya. Ibu lagi sibuk nih. Hati-hati pulang ke rumah. Ibu sama
Ayah sayang kamu… Baik-baik ya…” suara Ibu bergetar seperti menahan tangis. Dan
baru saja aku akan menanyakan apakah tadi suara batuk Ayah dan dimana mereka
sekarang. Ibu memutuskan sambungan teleponnya.
Aku berlari menuju kamar Ayah dan
Ibu. Aku harus memastikan sesuatu. Dengan terburu-buru aku membuka lemari Ayah
dan Ibu. Hanya ada beberapa baju yang tersisa. Aku menutup mulutku—tidak
percaya dengan apa yang ku lihat. Aku segera melongok ke bawah kasur Ayah dan
Ibu, tempat dimana koper disimpan. Namun, nihil.
Aku duduk tersipuh dilantai. Aku
termenung—memikirkan segala macam kemungkinan yang terjadi ketika aku seminggu
tidak berada di rumah. Dengan kasar, aku membuka semua laci dan mengeluarkan
isi didalamnya. Hampir semuanya berisi dokumen entah apa isinya. Satu demi
persatu ku baca dengan teliti. Hingga akhirnya tanganku gemetaran menemukan
dokumen rekam medis dengan nama Ayah disampulnya. Perlahan, aku membuka lembar
demi lembar dokumen tersebut.
Atherosklerosis
(Penyempitan Pembuluh Darah pada Jantung)
Tangisku
pecah. Apa yang terjadi? Semenjak kapan? Semenjak kapan Ayah menderita penyakit
ini? Mengapa Ibu dan juga Ayah menyembunyikan rahasia ini dariku? Lalu mengapa
mereka pergi diam-diam seperti ini?
Dulu,
setiap sore, aku selalu antusias menunggu pintu terbuka
Hingga
muncullah sesosok yang akan merengkuhku dan mengatakan bahwa …
Akulah
satu-satunya gadis kecilnya yang berharga
Namun, mulai hari ini hingga entah
kapan berakhir
Untuk pertama kalinya—aku menunggu
pintu terbuka dengan keputusasaan
***
Selasa, 11-Mar-2025
“… Bangun... Ma Bangun… Ma…”
Cahaya matahari menelisik masuk
melalui jendela yang telah disibak oleh seseorang. Aku tersenyum menatap
sesosok anak laki-laki, pipinya merona merah, matanya yang berbinar-binar dan
sangat menggemaskan melihat selai cokelat yang menempel di pipi kirinya.
“Mama abis ngiler ya? Kok basah sih
pipinya? Mama kalah sama aku, aku aja kalo ngiler jarang-jarang” celotehnya
sembari menghapus air mata di pipiku. Sontak aku pun tertawa dan segera
mencubit gemas hidung Jagoan-ku ini.
“Daniel… Makasih ya sudah
membangunkan Mama dari mimpi yang panjang”
“Mama kemarin tidur sambil meluk
layangan Niel? Katanya Mama engga suka sama layangan, bahkan sempat mau
membuang layanganku kemarin …” ucap Daniel pelan takut aku kembali marah dan
membuang layangan tersebut.
Aku menggeleng pelan dan mengelus
rambutnya pelan.
“Maaf ya, Mama kemarin lagi engga
enak badan. Jadinya marah-marah engga jelas. Nanti kita nerbangin layangan
bareng ya sama—”
BRAAAK
Pintu kamar terbuka dan sesosok
lelaki tampan dengan apron bergambar kelinci putih—sangat pas dibadannya. Ia tersenyum menampilkan lesung pipitnya
yang sangat memesona.
“Papaaa, kata Mama nanti kita main
layangan bareng horeeee” teriak Daniel menerjang sesosok lelaki yang masih
berdiri didepan pintu. Laki-laki itu menangkap Daniel dan tatapan kami bertemu
dan Ia mengisyaratkan sesuatu sedangkan aku mengangkat alis mencoba menyelami
apa yang Ia sampaikan.
“Pinggangku sakit mengangkatmu yang
tertidur sembarangan kemarin. Ayo sarapan! Perlukah aku gendong juga seperti
kemarin, Tuan Putri?” ujarnya sambil menawarkan lengan sebelahnya yang tidak
menggendong Daniel.
Aku tertawa renyah mendengar
candaannya. Ah, aku sangat menyukai tidur sembarang tempat tanpa merasa cemas
karena ada Ayah yang akan menggendongku ketika aku tertidur. Entah mengapa
berada disampingnya membuatku semakin mengingat dan merindukan Ayah.
Laki-laki ini mengulurkan tangannya
kepadaku dan senang hati aku menggapainya—menggenggam
erat tangan suamiku. Tangannya menuntunku menuju ruang makan. Dan tentunya aku
yang sibuk membersihkan sisa-sisa selai cokelat yang ada di pipi Daniel tanpa
menyadari dua sosok yang berada di depanku.
“Jo Daniella …”
Pandanganku mengabur. Napasku
tercekat—Mimpi ini masih berlanjut?
Aku masih bermimpi? Aku—
“Niella, kami pulang…”
Ibu mendorong pelan kursi roda yang
diduduki oleh Ayah. Menghampiri aku yang masih gemetaran dan memelukku.
Bongkahan batu dalam hatiku seolah runtuh seketika merasakan hangatnya pelukan
Ibu. Ucapan maaf berulangkali Ibu bisikan kepadaku. Maaf dan penuh rasa bersalah
karena telah meninggalkanku. Aku melepaskan pelukan Ibu dan bergantian memeluk
tubuh ringkih Ayah.
Masih terasa hangat dan nyaman.
Bertahun-tahun lamanya aku tidak merasakan perasaan seperti ini. Merasa betapa terlindungi
aku ketika berada di pelukan Ayah. Sangat nyaman—hingga membuatku tidak ingin melepasnya.
“Ayah pulang, Niel…”
Sesederhana
itulah yang aku harapkan
Kau
pulang dan kami kembali bersama
Seperti
sedia kala
Terima
kasih Ayah… Ibu…
Aku
sayang kalian
TAMAT